Upaya Internasional dalam Menghadapi Cyber Crime
Menurut Barda Nawawi Arief, cyber crime merupakan salah satu bentuk atau
dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian
masyarakat luas di dunia internasional. Cyber crime merupakan salah satu
sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat
luas bagi seluruh kehidupan modern saat ini. Sehubungan dengan hal
tersebut, Ramlan Ginting menyatakan bahwa kejahatan dunia maya jelas
bersifat lintas batas negara (borderless). Jadi, cyber crime bukan hanya
masalah nasional tapi juga masalah internasional.
Cyber crime merupakan masalah internasional, maka diperlukan upaya hukum
internasional dalam mengantisipasi masalah cyber crime. Perkembangan
dalam hukum internsional sendiri memang telah menunjukkan bahwa telah
dilakukan berbagai upaya hukum internsional dalam mengantisipasi cyber
crime. Akan tetapi, menurut Ahmad M. Ramli, instrumen hukum
internasional di bidang cyber crime merupakan sebuah fenomena baru dalam
tatanan modern mengingat cyber crime sebelumnya tidak mendapat
perhatian dari negara-negara sebagai subyek hukum internasional.
Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat lintas batas
tetapi juga terwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan
masyarakat internasional tentang perlunya perangkat hukum internasional
baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam
mengatasi kasus-kasus cyber crime.
Adapun instrumen hukum internasional di bidang Cyber Crime merupakan
sebuah sebuah fenomena baru dalam tatanan hukum internasional modern
mengingat kejahatan mayantara sebelumnya tidak mendapat perhatian dari
negara-negara sebagai subyek hukum internasional. Munculnya bentuk
kejahatan baru yang tidak bersifat transnasional tetapi juga terwujud
dalam tindakan-tindakan virtual telah menyadarkan masyarakat
internasional dalam mengatasi kasus-kasus cyber crime.
Adapun instrumen hukum Internasional yang dapat dirujuk dalam fenomena
cyber crime sebagai kejahatan transnasional adalah United Nations
Conventions Againts Transnational Organized Crime, atau yang dikenal
dengan Palermo Convention, tahun 2000. Dalam Palermo Convention ini
ditetapkan bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam kejahatan
transnasional adalah :
1. Kejahatan Narkotika
Jadi sempat terjadi pada saat para pelaku kejahatan perdagangan
narkotika tidak bisa menikmati hasilnya, karena shock therapy. Dan
secara psikologis, hukum selalu tertinggal dari modus pelaku kejahatan.
Dari filosofi-filosofi yang dipelajari tentunya akan menghasilkan suatu
logika hukum, suatu rasionalisme bahwa untuk memberantas predicate
offense tidak harus dibuktikan terlebih dahulu.
2. Kejahatan Genocide
Genocide merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dikatagorikan kejahatan internasional yang merupakan pelanggaran berat.
3. Kejahatan Uang Palsu
Kejahatan pemalsuan uang juga menjadi pembahasan yang cukup pentiong dalam Konvensi Palermo.
4. Kejahatan di Laut Bebas
Indonesia telah melakukan berbagai tindakan preventif dan represif
dalam penanggulangan masalah pembajakan dan perompakan di laut, meskipun
masih menemui berbagai kendala. Dibidang pembenahan pengaturan
hukumnya, telah pula disusun naskah konsep KUHP tahun 2000, yang
dimaksudkan untuk menggantikan pengaturan dalam KHUP yang sekarang ini
masih berlaku.
Dalam kenyataannya naskah konsep KUHP yang dimaksudkan untuk mengatur
masalah pembajakan dan perompakan di laut, belum menampung
perkembangan-perkembangan pengaturan secara internasional sebagaimana
yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Selain Konvensi Palermo, pemerintah Indonesia juga telah menandatangani
dua protokol, yakni mengenai penyelundupan migran lewat darat, laut,
dan udara dan mengenai pencegahan dan hukuman penyelundupan manusia,
terutama atas perempuan,
5. Kejahatan Terorisme
Pada dasarnya kejahatan terorisme merupakan kejahatan internasional,
karena dilihat dari sumber hukumnya pemberantasan terhadap kejahatan
ini didasarkan pada 13 ketentuan internasional yang berbeda satu sama
lainnya. Namun ke 13 ketentuan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya, sebab satu sama lainnya saling terkait.
Adapun ketentuan yang dimaksud adalah:
(1) Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board
Aircraft 1963,(konvensi Tokyo 7963); (2) Convention for the Suppresson
of Unlawful Seizure of Aircraft ( konvensi Den Haag /970J;
(3) Convention for the Suppresson of Unlawful acts Against the Safety of Civil Aviation 1971 (konvensi Montreal 1971);
(4) Convention on the Protection and Punishment of Crime Against
Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents (Konvensi
New York 1973);
(5) Convention of the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi Wina 1980);
(6) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airport Serving International Civil Aviation 1988;
(7) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety Maritime Navigation 1988 (Konvensi Roma 1988);
(8) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf 1988;
(9) Convention on the Marking of Plastic for the Purpose of Detection 1991 (Konvensi Montreal 1991);
(10) Convention against the Taking of Hostage 1979;
(11) The Convention on the Safety of United Nations and Associated Personnel I994;
(12) The International Convention for the Suppression Terrorist Bombing 1997;
(13) The International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999.
Sesuai dengan ketentuan internasional tersebut di atas, menunjukkan
bahwa kejahatan terorisme internasional dilakukan melalui berbagai cara
antara lain; pembajakan pesawat terbang, penyanderaan, pejabat-pejabat
asing/ diplomatik, pembajakan dan sabotase kapal, penggunaan
senjata-senjata pemusnah massal, sehingga diperlukan berbagai pengaturan
internasional untuk mengantisipasi kejahatan terrorisme internasional.
6. Kejahatan Perdagangan Senjata Api.
Sementara Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengemukakan,
Indonesia memang perlu ikut meratifikasi Konvensi PBB di Palermo tahun
2000 tentang pengawasan peredaran senjata api ringan. Namun, selama ini
implementasinya belum berjalan dengan efektif.
”Konvensi senjata api ringan beberapa pekan lalu gagal mencapai kata
sepakat. Industri senjata masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat. ”
kata Juwono. Konvensi Palermo yang berisi komitmen pemberantasan
kejahatan terorganisir lintas negara, antipenyelundupan imigran, dan
antiperedaran senjata api gelap. Sudah 20 negara yang meratifikasi
termasuk agresor Israel dan Afrika Selatan. Konvensi ini mendorong
pengawasan peredaran senjata api ringan agar tidak jatuh ke tangan pihak
tak bertanggung jawab.
Juwono menambahkan, masih banyak kepentingan industri militer negara
besar bermain dalam Konvensi Palermo. Bila ikut meratifikasi, harus
dengan syarat Indonesia tetap bisa mengembangkan industri senjata ringan
agar memiliki daya tawar yang kuat.
7. Kejahatan Korupsi.
Dalam terminologi konvensi ini, seperti korupsi sebenarnya adalah
serious crime, bukan extraordinary crime, tapi upaya pemberantasannya
yang extraordinary. Sedangkan yang termasuk extraordinary crime itu ada
empat, yaitu kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, agresi.
Semuanya ini termasuk pelanggaran HAM berat.
Para koruptor kelas kakap di Indonesia, entah pejabat dan pengusaha,
sebentar lagi tidak akan bisa tidur tenang. Walau menyimpan aset hasil
korupsi di bank luar negeri dan berlindung di balik lemahnya penegakan
hukum nasional, mereka tetap akan dituntut oleh masyarakat internasional
dan akan diganjar sesuai tingkat kesalahannya. Begitu pula dengan para
penegak hukum di Indonesia. Mereka kian dituntut oleh masyarakat
internasional untuk intensif memberantas korupsi.
Itu akan terjadi bila Indonesia segera meratifikasi ”Konvensi
Internasional atas Kejahatan Terorganisir Lintas Negara” atau yang
dikenal dengan Konvensi Palermo. 2000. Namun konvensi tersebut baru
tahun ini akan dibicarakan di DPR untuk segera diratifikasi. Selain itu
DPR juga baru akan meratifikasi dua protokol tersebut pada tahun depan.
8. Kejahatan Pornografi, Perdagangan Wanita dan Anak-Anak Internasional.
Berbagai kemajuan di bidang teknologi informasi, antara lain dengan
digunakannya internet dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal
ini menimbulkan dampak negatif yaitu munculnya pornografi anak di
internet.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, sampai saat ini belum ada
undang-undang tentang pemanfaatan teknologi informasi. Untuk
menanggulangi masalah yang timbul di bidang kejahatan teknologi
informasi , digunakan hukum positif yang ada, meskipun sebetulnya hal
tersebut kurang tepat, antara lain karena rumusan jenis tindak pidana,
unsur-unsur tindak pidana, serta sanksi pidana yang kurang tepat.
Perkembangan kejahatan teknologi informasi yang cepat, seyogyanya juga
diikuti oleh perundang-undangan yang baik. Sebagai hukum yang berlaku
untuk masa yang akan datang (ius constituendum), perlu disusun hukum
yang tepat, antara lain dengan melakukan studi banding serta diambil
dari norma-norma bangsa .
Selain Konvensi Palermo, pemerintah Indonesia juga telah menandatangani
dua protokol, yakni mengenai penyelundupan migran lewat darat, laut, dan
udara dan mengenai pencegahan dan hukuman penyelundupan manusia,
terutama atas perempuan,
9. Kejahatan Pencucian Uang.
Dalam konvensi PBB tahun 1995 dan terakhir pada konvensi Palermo 2000,
sudah disebutkan tentang pemberantasan kejahatan, dimana ada 17 jenis
kejahatan yang termasuk serious crime. Ternyata tindak pidana pencucian
uang merupakan peringkat pertama, setelah itu adalah korupsi dan
penyelundupan. Kejahatan inilah yang dikategorikan international serious
crime, tapi bukan extraordinary crime.
10. Cyber Crime
Cyber Crime merupakan bentuk perkembangan kejahatan transnasional yang
cukup menghawatirkan saat ini. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi
informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan
manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi
dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang
amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini
berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam
bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet.
Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana kegiatan
komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya.
Sebelumnya, dalam Deklarasi ASEAN pada tanggal 20 Desember 1997 di
Manila, yang termasuk sebagai kejahatan transnasional adalah :
1. Illicit Drug Trafficfiking;
2. Money laundering;
3. Terrorism;
4. Arm Smuggling;
5. Traffiking in Persons;
6. Sea Piracy;
7. Currency Counterfeiting;
8. Cyber Crime
Sementara itu, Ahmad M. Ramli, instrumen hukum internasional publik yang
saat ini mendapat perhatian adalah konvensi tentang kejahatan wasantara
(convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi
ini meskipun pada awalnya dibuat oleh negara regional Eropa, tetapi
dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh
negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi
kejahatan mayantara.
Negara-negara yang tergantung dalam Uni Eropa pada tanggal 23 November
2001di Kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention
on Cyber Crime yang kemudian di masukkan dalam European Treaty Series
dengan nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah
diratifikasi oleh minimal 5 negara termasukdiratifikasi oleh 3 negara
anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup
luas, bahkan mencakup kebijakan kriminal yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun
kerjasama internasional.
Adapun yang menjadi pertimbangan dari pembentukan konvensi ini antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar
negara dan industri dalam memerangi kejahatan mayantara dan adanya
kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah di dalam suatu negara
serta pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahnaan sistem,
jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Dengan
demikian, perlu adanya kepastian hukum dalam proses penyelidikan dan
penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu
mekanisme kerjasama internasional yang dapat dicapai, dipercaya dan
cepat.
3. Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu
kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak asasi manusia
(HAM) dan konvenan PBB 1996 tentang hak politik dan sipil yang
memberikan perlindungan kebebasasn berpendapat seperti hal berekspresi,
yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyabarkan
informasi dan pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Uni Eropa sebagai konvensi yang
terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan
untuk dijadikan norma dan instrumen hukum internasional dalam mengatasi
kejahatan may antara, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk
tetap mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi
informasi.
Di samping kedua instrumen tersebut, masih ada beberapa instrumen
internasional yang dapat dijadikan acuan dalam mengatur teknologi
informasi.
Di samping kedua instrumen tersebut, masih ada beberapa instrumen
internasional yang dapat dijadikan acuan dalam mengatur teknologi
informasi. Instrumen tersebut dibuat oleh berbagai organisasi
internasional, misalnya the United Nations Commisions on International
Organizations (WTO), World Trade Organizations (WTO), dan sebagainya.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang peraturan atau model
law yang dikeluarkan oleh beberapa organisasi tersebut.
1. UNCITRAL
UNCITRAL merupakan salah satu organisasi internasional yang pertama kali
mulai membahas mengenai perkembangan teknologi informasi dan dampaknya
terhadap perniagaan elektronik. Hasil dari UNCITRAL berupa model law
yang sifatnya tidak mengikat, namun menjadi acuan atau model bagi
negara-negara untuk mengadopsi atau memberlakukannya dalam hukum
nasional.
Adapun beberapa model law yang telah ditetapkan oleh UNCITRAL terkait
dengan perkembangan teknologi informasi adalah : UNCITRAL Model Law On
E-Commerce, UNCITRAL Model law On E-Commerce, UNCITRAL Model on
Electronic Signature, UNCITRAL Model Law On International Credit
Transfer.
2. WTO
Peranan WTO adalah untuk membantu dalam regulasi perdagangan. WTO
pertama kali membahas persoalan e-commerce pada bulan mei 1998. Pada
bulamn Juli 1999, 4 badan utama dari WTO telah mengeluarkan laporan
pertama mengenai pengaruh (initial impact assessments).
WTO bermaksud membebaskan perdagangan teknologi Informasi. Pada
konferensi tingkat menteri WTO pertama di Singapura, pada Desember 1999,
para negosiator telah mengadopsikan Deklarasi Ministerial pada
perdagangan dan produk teknologi informasi ( Ministerial Declaration on
Trade in Information Technology Product atau ITA). ITA menyediakan untuk
mereka yang bersangkutan dalam menunda pembubaran pajak terhadap produk
informasi teknologi yang diliputi oleh perjanjian tanggal 1 Januari
2000.
3. APEC
APEC telah menyusun blue print for Action on Electronic Commerce pada
bulan November 1998 yang menekankan peranan pemerintah untuk mendukung
dan memfasilitasi perkembangan dan kemajuan e-commerce dengan :
1. Menyediakan lingkungan yang efektif, termasuk aspek hukum dan regulasi yang transparan dan konsisten.
2. Menyediakan lingkungan yang mendukung kepercayaan dan keyakinan di antara pelaku e-commerce,
3. Mendukung fungsi efisiensi dri e-commerce secara internasional dengan tujuan untuk membentuk suatu kerangka domestik;
4. Mempercepat dan mendorong penggunaan media elektronik.
4. OECD
OECD pertama kali dimulai menggarap masalah e-commerce pada tahun 1998
di Ottawa dengan mengumumkan Actions Plan for Electronics Commerce yang
antaranya merencanakan untuk :
1. Membangun kepercayaan untuk pengguna dan konsumen.
2. Menetapkan aturan dasar untuk tempat pasar digital.
3. Memperbaiki infrastruktur informasi untuk perdagangan elektronik.
4. Memaksimalkan keuntungan dari perdagangan elektronik.
Resolusi Kongres PBB VIII tahun 1990 tentang The Prevention of Crime and
Treatment of Offenders di Havana mengajukan bebrapa kebijakan dalam
upaya menaggulangi cyber crime, antara lain sebagai berikut :
1. Menghimbau negara anggota untuk menginvestasikan upaya-upaya
penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan
mempertimbangkan langkah-langkah di antaranya :
2. Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
3. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
4. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat
pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan
yang berhubungan dengan komputer.
5. Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat
dan para penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime.
6. Memperluas rules of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika.
7. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban Cyber Crime sesuai dengan
deklarasi PBB mengenai korban, dan mengambil langkah-langkah untuk
korban melaporkan adanya cyber crime.
8. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggualngan Cyber Crime.
9. Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan (Committe on Crime Prevention and Control) PBB untuk :
a. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota
menghadapi Cyber Crime di tingkat nasional, regional dan internasional.
b. Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan
cara-cara baru menghadapi problem Cyber Crime pada masa yang akan
datang.
c. Mempertimbangkan Cyber Crime sewaktu meninjau pengimplementasian
perjanjian ekstradisi dan bantuan kerja sama di bidang penanggulangan
kejahatan.
Upaya internasional dalam penanggulangan cyber crime, juga telah dibahas
secara khusus dalam suatu lokakarya yaitu workshop on crime related to
computer networks yang diorganisasi oleh UNAFEI selama Kongres PBB X
tahun 2000 berlangsung. Adapun kesimpulan dari lokakarya ini adalah
sebagai berikut :
1. Computer Related Crime (CRC) harus dikriminalisasikan.
2. Diperlukan hukum acara yang tepat untuk penyidikan dan penuntutan terhadap penjahat mayantara (cyber criminals).
3. Harus ada kerja antara pemerintah dan industri terhadap tujuan umum
pencegahan dan penaggulanagn kejahatan komputer agar internet menjadi
aman.
4. Diperlukan kerjasama internasional untuk menelusuri atau mencari para penjahat internet.
5. PBB harus mengambil langkah atau tindak lanjut yang berhubungan
dengan bantuan dan kerja sama teknis dalam penaggulangan computer
related crime (CRC).
Demikianlah beberapa upaya hukum internasional yang terkait dengan upaya
pencegahan dan penanggulangan Cyber Crime. Upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan mayantara dilaksanakan oleh masyarakat
internasional oleh karena kejahatan ini adalah merupakan salah satu
kejahatan baru yang beraspek internasional dan global. Upaya hukum saat
ini tidak hanya terbatas pada perangkat model law, tetapi juga terkait
dengan penegakan hukum.(law inforcement)
sourch : http://dumadia.wordpress.com/2009/02/03/upaya-internasional-dalam-menghadapi-cyber-crime/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar