PERANG cyber tampaknya tak bisa dihindari, menyusul makin terbelahnya peta kekuatan politik dunia pasca World Trade Center 11 September 2001 di New York.
Meski sudah ada sejak Internet mengglobal, tapi perang di dunia maya ini intensitasnya makin tinggi pasca hancur-luluhnya menara kembar yang menjadi ikon bisnis Amerika Serikat itu.
Cyber adalah medan pertempuran baru menyusul ketegangan politik yang meninggi di alam nyata. Protes-protes masyarakat di kedua belah pihak yang tak tersalurkan akhirnya bermuara pada penyerangan situs-situs web dan sistem komputer “lawan” yang tentu saja juga memancing serangan balasan.
Perlakuan tidak simpatik pemerintah Australia kepada WNI di negara itu menyusul Tragedi Bom Bali yang menewaskan puluhan warga Australia tampaknya mulai membuat jengkel kalangan hacker. Namun sebenarnya, kekesalan lebih dipicu oleh pernyataan-pernyataan pejabat tinggi Australia yang menyerang Indonesia dan seringkali dianggap arogan. Bahkan media massa Indonesia juga dituduh sebagai biang yang mempertegang hubungan Indonesia-Australia.
Senin lalu, seorang hacker Indonesia berinisila TarJO akhirnya melakukan mass defacing (membobol dan mengganti tampilan) puluhan situs internet milik berbagai perusahaan Australia.
Berdasarkan pengecekan Tempo News Room, hingga pukul 10.30 WIB kemarin, enam situs di antaranya belum berhasil dipulihkan dan masih menampilkan pesan-pesan yang dibuat pembobolnya (Tempo Interaktif, 5/11).
Dengan latar belakang warna hitam, dan font warna hijau, di halaman depan situs tersebut tertulis: “Hacked! Whose the real terrorist? We or you? Go to hell Australia!” Situs-situs tersebut adalah thebigcountry.com.au, accommodationbondi.com, actionhirecars.com.au, actionrentals.com.au, australianmusic.net dan superbank.com.au
Situs lainnya yang terkena defacing adalah, adultbank.com.au, atn.com.au yachtcharter.com.au, telebank.com.au dan rac.net.au, ausinternet.com.au, dialabook.com.au, vanandbushire.com.au, seabreezebnb.com.au, duralgardens.com.au, aloha.com.au, avalonrsl.com.au, banknet.com.au, innaustralia.com.au
Dan “gayung pun bersambut”. Tindakan hacker Indonesia itu langsung mendapat balasan dari hacker Australia. Selasa (5/11/2002), situs Satuatap.com dijebol seorang hacker dari Sydney. Situs Satuatap.com yang dimiliki oleh Graha Lumintu di Bekasi di-deface dengan gaya yang sama dengan defacing yang dilakukan oleh TarJO, hacker pelaku mass defacing situs-situs Australia.
Perang cyber ini jelas bukan yang pertama. Kasus insiden udara antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Amerika Serikat (AS) pada 2001 lalu, misalnya, sempat menyulut perang cyber antar dua negara tersebut. Saling serang antara kelompok hacker RRC dan AS sempat melumpuhkan ribuan situs internet akibat mass defacing.
Indonesia sendiri tercatat dua kali mengalami serangan cyber. Serangan pertama berasal dari hacker RRC dan kelompok Cina perantauan pasca kerusuhan rasial Mei 1998. Serbuan kedua terjadi sebelum dan pasca jajak pendapat di Timor Timur 1999. Seorang hacker Portugis bahkan berhasil membobol 45 situs web Indonesia, termasuk situs Departemen Luar Negeri.
Perang cyber, menurut Jimmy Sproles dan Will Byars dari Computer Ethics Course, bisa dikategorikan sebagai terorisme cyber (cyber-terrorism). Dalam konsep ini orang yang melakukannya bukan lagi dicap sekadar hacktivis, tapi teroris. Yang menjadi sasaran mereka bukan sekadar membobol situs web semata, tapi juga jaringan komputer instalasi militer, pembangkit listrik, pusat kendala lalulintas udara, bank dan jaringan telekomunikasi.
Survei Computer Security Institute (CSI) dan Agen Federal AS (FBI) mencatat, serangan cyber ini tak melulu berwujud serangan virus, seperti dilakukan Code Red tahun 2001 yang menangguk kerugian hingga US$ 2, 6 miliar dan menyebabkan 250 ribu sistem lumpuh hanya dalam tempo 9 jam. Serangan juga berupa pencurian informasi, pembobolan finansial, dan pembajakan.
Tak kurang Amerika Serikat sangat mengkuatirkan fenomena terorisme cyber. Dalam laporan terbarunya, CIA menyatakan, “Serangan-serangan cyber terhadap sistem infrastruktur kita akan terus meningkat menjadi opsi yang strategis bari para teroris.”
Masih menurut laporan itu, sejumlah kelompok-kelompok yang mereka tuduh teroris seperti Al Qaeda dan Hisbullah, sudah makin campin menggunakan teknologi internet dan komputer. FBI sendiri sedang memantau meningkatnya jumlah ancaman-ancaman cyber dewasa ini.
Menurut BBC, sekelompok hacker Islam baru saja menyerang sejumlah situs web milik pemerintah Barat menyusul dukungan negara-negara Eropa itu terhadap rencana AS untuk menyerang Irak (29/10). Sebuah lembaga sekuriti komputer yang berbasis di London, MI2G menyatakan bahwa Oktober 2002 adalah “serangan digital terburuk sejak tahun 1995.” Setidaknya sudah terjadi 16.559 serangan terhadap sistem komputer dan situs web sepanjang bulan Oktober!
Diperkirakan, jumlah total serangan hacker hingga delapan bulan pertama di tahun ini sudah mencapai lebih 31.000 kali – lebih dari total tahun 2001. Serangan digital memang makin marak. Sebuah proyeksi konservatif justru mengungkapkan setidaknya sudah terjadi 45.000 kali serangan di seluruh penjuru dunia sepanjang tahun ini.
IBM Global Security Analysis Lab mencatat, setidaknya ada sekitar 100 ribu hacker di dunia dewasa ini, namun 90% di antara adalah para amatir (cyberjoyriders), 9,9% hacker bayaran (corporate spies) dan hanya 0,1% yang benar penjahat cyber kelas dunia (world-class cybercriminals).
Mendominasinya hacker amatiran memang masuk akal mengingat jalan untuk menjadi hacker, bukan pekerjaan sulit. Asal memiliki akses ke Internet, maka aktivitas memporakporandakan jaringan komputer adalah pekerjaan gampang. Apalagi ratusan situs di Internet memberikan informasi mengenai cara menjadi hacker, sekaligus menyediakan hacker tool.
Di Indonesia sendiri, jumlah hacker tidak bisa dibilang sedikit. Nama-nama seperti Hiddenline atau Medan Hacking bahkan telah menjadi ”ikon” dalam dunia hacker di Indonesia. Sekitar 100 situs berhasil dibobol hacker Indonesia, 90 persen situs luar negeri.
Jika hegemoni kekuasaan-kekuasaan tertentu di dunia tak bisa direm dan wadah untuk penyaluran protes juga tersumbat, perang cyber tampaknya makin tak terhindari. Sebuah model lain perang dunia ketiga?
PROFIL PARA HACKER
Hacker amatir (cyberjoyriders) 90%
Hacker bayaran (corporate spies) 9,9%
Hacker kelas dunia (world-class cybercriminals) 0,1%
Jumlah Hacker: 100.000
Jumlah serangan hacker di dunia
1998 - 269
1999 - 4,197
2000 - 7,821
2001 - 31,322
2002 - 45,000+
Sumber: IBM Global Security Analysis Lab/BBC
sumber:
Koran Tempo
sunting by :Budi Putera / Wartawan Koran Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar